Dahulu saya acapkali berpikir, bagaimana mungkin Ibu saya bisa sebegitu sabarnya?Saya masihlah anak-anak dengan usia di awal belasan kala itu. Saya suka memperhatikan orang (bukan observer). Hanya suka menganalisa sifat dan tingkah orang.
Tidak hanya sekali, saya melihat beberapa orang teman Ibu saya bertindak begini dan begitu, terkadang egois (menurut saya) dan mengharuskan Ibu mengalah. Jika saja saya punya kesempatan, ingin sekali rasanya saya sekedar menjambak rambut teman Ibu saking lelahnya saya melihat Ibu mengalah dan mengalah, lagi.
Ketika saya (yang masih bocah ingusan) mencoba menasehati Ibu untuk tidak terlalu sabar dan tidak terus menerus mengalah, Ibu hanya tersenyum (bahasa kalbu). Kala itu saya belum mengerti dan hanya membuat imajinasi tempat meluapkan kemarahan. Bagaimanapun, saya ingin membela Ibu saya.
Bertahun pun berselang, setelah cuplikan-cuplikan kejadian seperti tadi. Tanpa saya sadari, saya juga memiliki sifat itu. Saya tak akan sadar jika bukan teman saya yang mengoceh di depan saya seperti mengulangi kata-kata yang saya coba utarakan pada Ibu saya dahulu.
Namun, mungkin kini saya mulai mengerti arti senyuman (bahasa kalbu) Ibu dahulu. Saya merasakannya jauh di dalam hati saya. Sesuatu yang tidak bisa instan terbentuk. Ah, saya sulit melukiskannya dengan kata. Saya hanya dapat mengatakan yang saya rasakan membuat saya tenang. Rasanya indah, sungguh. Apakah itu yang dinamakan ikhlas? Saya tak begitu berani menilai demikian. Mungkin saya belum pada tahap orang-orang yang bisa luar biasa sabar. Tapi, agaknya sekarang saya mengerti mengapa Allah menyuruh untuk saling menasehati supaya menetapi kesabaran.
Kini...
Saya mengerti... ^_^
Ada yang komen kamu terlalau sabar? Aaah, tidak apa-apa. Kamu tahu? Itu sifat yang sulit didapat lho. Butuh melalui ujian yang banyak... Maka, bersyukurlah jika kamu bisa bersabar untuk ujian hari ini kawan...
***
Malang, 25 Oktober 2016
11.45 pm
No comments:
Post a Comment